Dosa kah aku.. Dengan cinta melebur dosa..

Tim Negara mana yang akan jadi juara PD 2010 - Afsel tahun ini ?

SELAMAT DATANG..

Bismillahirrahmanirrahim.,

Minggu, 08 Agustus 2010

Fatwa : BUNGA Bank Haram, Benarkah ???

Orang-orang tua kita seringkali memberi nasihat agar kita tidak berutang. Bagaimana keadaan orang-orang yang terbelit utang sudah menjadi pengetahuan umum. Rata-rata orang menganggap utang sebagai hal yang mengerikan, apalagi untuk orang-orang yang mempunyai pemasukan dan pengeluaran yang pas-pasan, boleh dianggap kurang layak atau tidak berhak memanjakan diri dengan utang. Bagi orang-orang dalam kelompok ini, utang bisa dianggap dengan perjudian, dimana dapat dibayangkan ketidak-berdayaan untuk membayar, dapat membuat mereka gali-menggali lobang utang lebih dalam lagi hingga tenggelam dalam masalah yang lebih besar, kesulitan yang biasa dihubungkan dengan cara-cara, yang dikenal dengan istilah, lintah darat.

Pada hari Sabtu 3 April 2010, PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa, yang berkaitan dengan utang-piutang, bahwa bunga bank adalah haram. Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamamdiyah Fatah Wibisono memberi keterangan yang singkat bahwa bunga bank hukumnya haram karena adanya imbalan atas jasa yang diberikan oleh pemilik modal atas pokok modal yang dipinjamkan. Tambahan imbal jasa itu bersifat mengikat dan diperjanjikan sebelumnya. Selain itu, haramnya bunga bank disebabkan karena yang menikmati bunga bank adalah para pemilik modal. Ditegaskan kembali oleh Fatah bahwa berdasarkan kesamaan sifat antara riba dan bunga, maka bunga mengikuti hukum riba, yaitu haram.

Tetapi, dibalik semua ini, ada sebuah cerita yang berbeda tentang utang. Peradaban manusia, dipandang dari sisi komersial, bisa dikatakan dibangun di atas utang. Boleh dibilang utang berperan cukup penting dalam hal ini. Seperti nasi yang baru saja kita makan adalah hasil dari sebuah proses panjang kegiatan ekonomi. Dilihat dari tahap-tahapnya ke belakang, ada konsumen yang membeli ke pasar, ada distributor, ada perkapalan, ada pabrik penggilingan, dan terus ke belakang hingga dimulai dari seseorang meminjamkan uang kepada seseorang untuk membeli bibit dan pupuk. Bahkan, tahapan ini bisa dilihat lebih jauh lagi ke belakang.

Semua yang kita nikmati saat ini, baik barang dan jasa, adalah hasil dari keruwetan proses yang dihasilkan dari pertukaran daya dan upaya manusia yang bisa tumbuh, berkembang dan berguna berkat sebuah sistem pinjam-meminjam yang sering disebut sebagai sistem kredit, kadang disebut sebagai sistem kapitalisme, tetapi pada dasarnya adalah sebuah sistem utang. Dalam sistem ini, peredaran uang didasarkan pada utang. Setiap rupiah yang kita pegang menanggung beban bunga. Pendapatan utama Bank Indonesia, otoritas moneter kita, pun adalah bunga bank. Sistem ini sudah kita pelajari dari sejak kita duduk di sekolah menengah pertama hingga ke perguruan tinggi sehingga sudah terbiasa dengan permainannya. Dalam struktur permainan ini, bunga merupakan pemain yang cukup penting sehingga ketika dinyatakan bahwa bunga bank adalah haram, masyarakat ingin mengetahui ruang lingkup yang jelas, ingin penjabaran teori ekonomi yang dipakai dan ingin mengetahui alternatif sistem yang dapat langsung dijalankan, kalau tidak hasilnya adalah kebingungan di sebagian masyarakat.

Siapakah yang diharamkan, otoritas moneter, industri perbankan atau nasabah? Apakah sewa yang merupakan induk dari bunga termasuk yang diharamkan? Bagaimana dengan pajak yang adalah ibu dari sewa juga termasuk? Bagaimana dengan saudara-saudara kembarnya seperti dividen, agio, premi dan sebagainya? Apakah asuransi yang merupakan utang jangka panjang yang berimbal jasa juga termasuk yang diharamkan? Apakah pelajaran ekonomi yang diajarkan dari saat sekolah menengah pertama, yang menempatkan modal sebagai salah satu dari faktor-faktor produksi, menjadi pelajaran tentang produk haram? Dan, masih banyak pertanyaan-pertanyaan mengganggu pikiran dengan puncaknya adalah apakah bunga bank itu?

Kita tahu bahwa utang adalah kesepakatan di masa depan. Tidak ada utang tanpa penerima dan pemberi pinjaman. Utang diselenggarakan bukan hanya untuk kepuasan dan kenyamanan penerima pinjaman saja, tetapi lebih sering timbul dari permintaan dan kebutuhan pemberi pinjaman. Utang adalah suatu hal yang harus dibuat dengan sangat hati-hati, di atas segalanya, utang wajib dibayar.

Utang bisa terjadi karena setiap orang mempunyai tingkat preferensi waktu yang berbeda, yaitu tingkat dimana mereka mau melepaskan uang yang mereka miliki sekarang, dengan uang yang akan mereka terima di masa datang. Tingkat preferensi waktu dikatakan tinggi bila seseorang lebih mementingkan uang saat ini, daripada uang di masa datang. Misalkan, si Fulan sangat membutuhkan uang saat ini, karena itu dia tidak begitu peduli dengan uang yang akan ia peroleh di masa depan. Si Fulan bersedia melepaskan Rp. 200 ribu uangnya di tahun depan untuk mendapatkan Rp. 100 ribu uang di saat ini. Si Fulan mempunyai tingkat preferensi waktu yang sangat tinggi.

Sebaliknya, si Gober mempunyai tingkat preferensi waktu yang sangat rendah, dimana baginya uang di “masa datang” sama pentingnya dengan uang di “saat ini.” Si Gober, dengan tingkat preferensi waktu yang rendah, bersedia melepaskan Rp. 105 ribu uangnya di tahun depan untuk mendapatkan Rp. 100 ribu uang di saat ini. Berbeda dengan si Fulan yang lebih mementingkan uang di saat ini daripada uang di masa datang, si Gober tidak bersedia melepaskan jumlah uang yang besar di masa datang untuk uang di tangan. Ingat, tidak ada tingkat preferensi waktu yang negatif.

Dengan perbedaan ini, biasanya orang yang mempunyai tingkat preferensi waktu yang tinggi menjadi penerima utang, sedangkan orang yang mempunyai tingkat preferensi waktu yang rendah menjadi pemberi utang. Bila si Fulan dan si Gober bersepakat membuat perjanjian utang sebesar Rp. 100 ribu untuk dilunasi Rp. 150 ribu di tahun depan, maka si Fulan yang sebenarnya bersedia melepaskan Rp. 200 ribu uangnya di tahun depan memperoleh keuntungan Rp. 50 ribu dan si Gober yang bersedia melepaskan Rp. 105 ribu uangnya di tahun depan memperoleh keuntungan Rp. 45 ribu. Karena utang-piutang adalah usaha dagang, seperti usaha perdagangan lainnya, maka kedua pihak harus memperoleh keuntungan agar mau berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Memang, uang adalah steril dan tidak bisa memproduksi apa-apa dengan sendirinya. Sehingga, apapun tingkat bunga yang merupakan ongkos untuk penggunaannya adalah sebuah bentuk eksploitasi. Meminjamkan uang dengan tingkat suku bunga yang tidak wajar, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terburuk diantara orang-orang yang mengeksploitasi ekonomi. Mereka layak mendapat penghinaan berupa pengharaman kegiatannya.

Namun, di sisi lainnya, selain kemampuan uang untuk membeli barang dan jasa, mendapatkan uang lebih dini, daripada nanti, menyediakan jalan keluar dari derita menunggu pemuasan kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam beberapa hal, dapat membantu investasi produktif, dimana pada akhir masa pinjaman, walau sudah membayar biaya bunga, memberikan lebih banyak barang dan jasa dibanding pada saat memulai pinjaman. Pada dasarnya, utang yang diadakan untuk sesuatu yang segera dikonsumsi adalah utang buruk karena akan membebankan produksi di masa depan, tidak seperti utang yang baik yang akomodasinya sudah diadakan dari produksi masa lalu untuk menambah asset di masa depan.

Secara umum dan singkat, ada tiga jenis utang:

1. Utang perorangan/pribadi, adalah utang yang buruk karena jika pendapatan sekarang tidak bisa membayar pengeluaran saat ini, maka pendapatan masa depan pun tidak bisa membayarnya. Namun, kadangkala utang pribadi timbul karena keadaan yang mendesak, seperti sakit atau keperluan pendidikan, yang bisa menjadi alasan yang kuat untuk berutang.

2. Utang komersil/usaha, adalah utang yang baik karena dapat membayar utang dengan sendirinya (self liquidating).

3. Utang publik/negara, adalah utang yang terburuk karena menyalahi semua prinsip berutang, yaitu tidak ada pemiliknya, tidak ada penjamin dan jaminan bahwa utang akan dibayar, perjanjian utang dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab atas pembayarannya, utang sudah terkonsumsi habis jauh sebelum jatuh tempo (misal: jembatan yang sudah rubuh sebelum utangnya terbayar lunas) dan semakin besar cicilan yang dibayar semakin besar beban yang harus ditanggung.

Jenis utang nomor 1 dan 3 di atas tidak lebih dari harapan kemampuan dan kemauan di masa depan untuk membayar. Sedangkan utang nomor 2 memenuhi pertimbangan utama dari prinsip utang yaitu pinjaman yang baik adalah selalu untuk maksud modal dan hanya untuk maksud modal saja.

Kembali ke masalah haramnya bunga bank. Teori ekonomi klasik yang mengatakan bahwa tiga faktor produksi yaitu tenaga kerja, modal, dan sumber daya alam masing-masing secara berurutan memperoleh upah, laba, dan sewa adalah sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi. Sewa bisa diperoleh dari tenaga kerja dan modal, tidak harus dari tanah. Laba tidak harus datang dari modal, tetapi bisa juga datang dari tanah dalam kewirausahaan. Begitu pula bunga tidak sekedar datang dari modal. Bunga bukanah pendapatan yang khusus datang dari penggunaan barang modal.

Lebih dari seratus tahun yang lalu, Bohm-Bawerk menjelaskan pemahaman tentang asal muasal bunga. Ia membaginya menjadi dua langkah. Pertama, bunga dibingkai sebagai cicilan pembayaran dari perdagangan antar-masa. Langkah kedua pemecahannya adalah dengan membuat pernyataan bahwa barang-barang saat ini lebih disukai daripada barang yang sama di kemudian hari. Jadi, jika pertanyaan mengenai bunga bank dirubah, dari bertanya, “Mengapa pemilik modal, tanpa upaya dan pengorbanan, memperoleh aliran pendapatan bunga?” menjadi sebuah pertanyaan konsep dagang, “Mengapa harga pembelian awal barang modal, secara sistematis, lebih rendah dari hasil keuntungan yang diharapkan di masa depan atas penggunaannya?” Pertanyaan ini menggugurkan anggapan bahwa bunga mengacu pada produktifitas barang modal.

Misalkan, seorang pengusaha angkutan mencari pemilik modal yang mau berinvestasi pada mobil truk untuk menambah armadanya. Pemilik modal yang berinvestasi pada sebuah truk (baik secara langsung atau dengan meminjamkan dananya ke pengusaha ini) dapat memperoleh penghasilan bunga dari investasinya. Artinya, dia akan bertambah kaya sesudah truk itu digunakan untuk proses angkut-mengangkut daripada sebelumnya. Bahwa, pertumbuhan kekayaan finansial melalui investasi pada truk bergantung pada kenyataan bahwa truk dihargai lebih rendah dari kenyataannya.

Agar lebih jelas, seandainya truk itu diharapkan dapat memberikan Rp. 10 juta tambahan nilai dari pendapatan setiap tahunnya, dan dapat bertahan selama sepuluh tahun sebelum menjadi barang rongsokan. Maka, seorang pemilik modal dapat memperoleh uang melalui truk tersebut dikarenakan harga beli awal truk lebih rendah dari Rp. 100 juta. Hanya dalam kasus seperti ini seorang penanam modal dapat menggunakan modal awalnya dan mengembangkannya selama sepuluh tahun berturut-turut menjadi nilai yang lebih besar.

Untuk contoh truk di atas, harga beli dinilai dengan uang saat ini, selagi sebuah truk hanya memberikan harapan aliran dividen di masa depan (berupa Rp. 10 juta setiap tahun selama 10 tahun). Tidak seorangpun mau membayar Rp. 100 juta saat ini untuk ditukarkan dengan janji pembayaran Rp. 10 juta setiap tahun selama 10 tahun. Dengan kata lain, tidak seorangpun mau membayar Rp. 100 juta untuk membeli truk tersebut. Karena kenyataan bahwa barang saat ini lebih bernilai daripada barang yang sama di masa depan, maka truk tersebut dapat dibeli lebih rendah dari Rp. 100 juta dan seorang pemilik modal dapat meningkatkan nilai pasar dari hartanya dengan menginvestasikannya di truk (dan menunggu 10 tahun).

Melalui contoh di atas dapat dikatakan bahwa memang benar peminjam uang dapat membayar utangnya karena produktifitas dari truk. Tetapi, bukan produktifitas modal (truk) yang menentukan pembayaran bunganya. Sebab, apabila harga awal truk adalah Rp. 100 juta, dan pendapatan pemiliknya tetap Rp. 10 juta per tahun untuk 10 tahun usia truk, maka pada tahun ke-10 si pemilik modal hanya mendapatkan pokok modalnya saja. Dengan kata lain, aliran dividen hanya dapat menutup depresiasi truk, sehingga tingkat bunga pada investasi itu adalah nol persen. Jadi, produktifitas truk tidak menentukan tingkat positif suku bunga, melainkan fenomena truk yang mempunyai nilai lebih dari konsumsi modal (depresiasi truk) pada saat produksi.

Benang merahnya adalah benar bahwa seseorang dapat menghasilkan produk lebih banyak dengan bantuan mesin (barang modal) daripada tanpa mesin. Tetapi, fakta ini tidak menerangkan mengapa seseorang yang berinvestasi di mesin memperoleh bunga. Produktifitas mesin menjelaskan harganya. Tetapi, sekali lagi, produktifitas mesin sendiri tidak dapat menjelaskan mengapa harga belinya lebih rendah dari nilai sejumlah produk yang dihasilkan mesin tersebut. Diskon pada faktor-faktor produksi inilah, dibanding dengan produk jadi pada akhirnya, yang merupakan bunga.

Sekarang kalau kita melihat kekayaan alam, ada tanah yang luas yang dapat ditanam tumbuh-tumbuhan, ada pohon yang berbuah di setiap musim, ada pertambangan, ada kawanan hewan, dan berbagai sumber daya alam lainnya, yang memberikan kekayaan berupa arus pendapatan yang tiada hentinya. Timbul pertanyaan, bagaimana menentukan harganya? Jika barang masa depan tidak dijual atau dibeli dengan diskon terhadap barang masa kini, seseorang yang membeli tanah akan terpaksa membayar suatu harga yang sama dengan jumlah keseluruhan pendapatan bersih yang akan dihasilkan tanah tersebut di masa depan dan tidak akan menyisakan pendapatan sedikitpun untuk masa kini.

Penghasilan yang berulang-ulang setiap tahun yang dinikmati pemilik tanah atau pemilik hewan-hewan ternak tidak ada bedanya dengan penghasilan dari produk yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi yang cepat atau lambat akan habis terpakai dalam proses produksi. Kekuatan penjualan sebidang tanah adalah terletak pada kemampuan pengendalian tanah untuk bekerjasama dalam produksi buah-buahan yang bisa tumbuh di atas tanah tersebut, dan kekuatan menjual pertambangan adalah pengendalian kerjasama dalam pengambilan mineral yang bisa dibawa ke muka bumi. Semua ini sama halnya dengan kepemilikan mesin yang kekuatannya adalah pengendalian kerjasama dalam produksi barang-barang yang dihasilkan berkat kerjasamanya.

Jika kita melihat pendekatan bunga sebagai jasa produktif yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi, maka apa yang terjadi dengan perkembang-biakan kawanan ternak, misalnya kambing, yang jumlahnya berlipat ganda setiap tahun? Dalam misal ini, kita mendapatkan suku bunga pasar yang 100% per tahun. Kesalahan yang dilakukan teori produktifitas neo-klasik karena dalam menerangkan bunga selalu berasumsi hanya ada satu produk di dunia, yaitu dalam hal ini kambing hanya bisa ditukar dengan kambing, sehingga satu kambing saat ini sama dengan satu kambing di masa depan. Mereka tidak mengaitkan harga awal dan harga masa depan pada kambing itu.

Kesimpulannya adalah, asal muasal bunga bukan “harga yang dibayar untuk jasa dari modal,” yang merupakan definisi pengharaman bunga di atas. Harga sewa dari sebuah barang modal adalah sesuai dengan jasanya. Bunga bukanlah sebuah harga, tetapi lebih sebuah perbandingan dari harga-harga, yakni sebuah barang saat ini dibanding dengan sebuah barang di masa depan. Asal muasal bunga juga menerangkan batas harga suatu tanah, yang mana (teorinya) menyediakan aliran jasa yang tak terbatas. Jika masyarakat tidak memberi diskon atas aliran penghasilan yang diharapkan di tahun-tahun mendatang, maka mereka harus siap membayar berapapun harga, tak peduli berapa tinggi, untuk sebuah bidang tanah.

Hal ini juga menggugurkan anggapan bahwa tingkat suku bunga ditentukan oleh pasar uang melalui pengaruh permintaan dan penawaran. Tetapi lebih pada kebalikannya, yaitu kesediaan untuk memberi atau menerima pinjaman sejumlah uang dengan tingkat suku bunga yang beragam adalah ditentukan oleh subyektifitas preferensi waktu orang-orang, yaitu dengan diskon yang mereka berikan terhadap konsumsi masa depan dibanding masa kini. Tingkat suku bunga tidak hanya bisa dibuktikan di pasar uang, tetapi dari semua struktur produksi, dalam bentuk “mark-up” dari harga barang jadi dibanding dengan penjumlahan harga-harga bahan dasarnya. Secara alamiah “mark-up” uang Rp. 100 ribu yang dipinjamkan hari ini dibanding dengan Rp. 105 ribu yang akan dibayarkan dalam setahun harus bersesuaian dengan pemilik modal yang dapat memperoleh mark-up dari membeli, misalnya gentong antik, sekarang untuk dijual di tahun depan, dengan berbagai resiko yang diperhitungkan. Fenomena preferensi waktu menentukan tingkat “mark-up” pada kedua contoh di atas.

Orang-orang yang mempunyai tingkat preferensi waktu yang berbeda-beda bisa dipertemukan kebutuhannya dengan mudah dan cepat berkat bantuan perantara perbankan. Sistem perbankan telah membuat kehidupan lebih nyaman dibanding bentuk layanan masyarakat lainnya adalah seutuhnya mengenai utang dan piutang. Kemudahan ini memungkinkan tuntutan hasil produksi setiap orang di setiap pelosok dunia terjamin dengan cara sistem perbankan yang secara langsung berhubungan dengan bunga bank yang merupakan tujuan awal dan tujuan akhir dari setiap bank. Untuk itu industri perbankan memasukkan nilai kewirausahaan dalam suku bunga perbankan. Tidak ada perkapalan tanpa sistem utang-piutang dalam pengertian modern. Tidak ada perdagangan internasional tanpa bantuan teknis finansial perbankan. Bagaimana seseorang di luar negeri mendapat jaminan pembayaran agar mau melepaskan barang-barang dagangannya. Dan, berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang berhubungan dengan kemudahan-kemudahan yang dimungkinkan karena adanya jasa layanan perbankan.

Menyangkut fatwa haram bunga bank, karena utang komersial atau usaha masuk ke dalam berbagai detil kehidupan modern kita, maka sudah menjadi tuntutan masyarakat untuk mengetahui secara detil hal-hal apa saja yang membuat suatu produk perbankan halal atau haram. Peringkat keburukan-keburukan beragam jenis utang perlu dibuat berikut jalan alternatifnya. Jangan sampai ulama membuat fatwa dan masyarakat bingung cara mentaatinya. Di sini peran perbankan syariah bisa membantu memberi panduan kepada masyarakat, termasuk yang ragu dan yang tidak terikat fatwa, bahwa layanan perbankan syariah mempunyai pilihan yang lebih islami atau lebih adil dan memikat.

Tulisan ini mencoba menuturkan mengapa sebagian masyarakat belum hijrah ke perbankan syariah berdasarkan alasan haram atau halalnya bunga bank. Ekonomi, sama seperti fisika atau kimia, adalah ilmu pengetahuan yang amoral, yang tunduk terhadap hukum alam yang tetap dan tidak bisa dirubah-rubah. Ada anggapan di masyarakat, bahwa bagi hasil adalah pengganti dari bunga bank di sistem perbankan. Tidak demikian. Selama kita masih menggunakan sistem ekonomi pasar, maka mustahil menghilangkan bunga dalam perhitungan dagang. Tetapi, bukan berarti sistem bagi hasil tidak menarik. Justru kebalikannya. Sistem bagi hasil atau kemitraan modal justru lebih menarik dan lebih banyak untungnya daripada pinjaman di bank. Banyak contoh perusahaan-perusahaan besar di dunia yang dimulai dengan kemitraan modal daripada pinjaman bank pada saat awal usahanya. Di lain kesempatan saya akan menulis mengenai teori asal muasal bagi hasil, tentang kemitraan usaha yang tidak terikat oleh suku bunga perbankan, tetapi lebih kepada potensi usaha yang dimiliki yang memberi lebih banyak keuntungan kepada kedua belah pihak yang bermitra. Faktor-faktor plus yang akan mendorong industri perbankan syariah menandingi industri perbankan konvensional. Keuntungan-keuntungan nyata yang bisa dijual oleh perbankan syariah adalah faktor utama yang akan membuat industri ini lebih kokoh. Bukan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar